Oleh: Nur Rachmansyah
Pendahuluan
Perkawinan
adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk
hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat
yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan
umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan
dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Tergantung budaya setempat
bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi
umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai
pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud
untuk membentuk keluarga. Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.[1]
Beberapa
pandangan dalam pergaulan sehari-hari dipersepsi bahwa perkawinan itu untuk
memuaskan syahwat atau hasrat seksuil. Persepsi demikian tidaklah sepenuhnya
benar, karena pemuasan nafsu seksuil itu dapat dipuaskan di luar perkawinan.
Beberapa kebudayaan secara diam-diam atau resmi terbuka memberikan kesempatan
pemuasan ini. Ada juga suatu negara yang memberlakukan ikatan rumah tangga yang
hanya mendasarkan pada undang-undang negara saja atau hanya dengan cukup
mencatatkan di catatan sipil.[2]
Masyarakat
barat meski menganggap persetubuhan di luar nikah dianggap melanggar moral,
namun kebudayaannya merangsang dan memberikan kesempatan untuk itu. Gejala ini
muncul juga di Indonesia dengan semakin tumbuhnya tempat-tempat panti pijat,
peristirahatn dlsb yang secara tidak resmi dapat dimanfaatkan sebagai prasarana
pemuasan hasrat seksuil di luar nikah.
Dengan
adanya kemungkinan pemuasan seksuil diluar perkawinan, sah atau tidak,
ditentang atau dibiarkan, haram atau halal, jelas bahwa pemuasan hasrat seksuil
bukan merupakan fungsi utama perkawinan. Ini merupakan fungsi kedua, fungsi
utamanya ialah fungsi sosial. Hal ini ditunjukkan kuatnya tuntutan bagi
pasangan perkawinan agar senantiasa hidup bersama, diakui dan disetujui umum.
Pasangan tersebut dituntut dapat saling bekerja sama bahkan dengan kerabat
lainnya dalam membina rumahtangganya. Mereka diharapkan untuk melahirkan anak,
mengakuinya, merawat dan mengasuhnya. Selain itu juga dituntut untuk
mempertahankan ikatan perkawinan selama hidup.[3]
A.
Makna
Pekawinan Menurut Barat (Amerika Serikat)
Pernikahan
adalah sebuah kontrak hukum sanksi antara seorang pria dan seorang wanita.
Memasuki kontrak pernikahan mengubah status hukum dari kedua belah pihak, suami
dan istri memberikan hak dan kewajiban baru. Kebijakan publik yang sangat
mendukung pernikahan berdasarkan pada keyakinan bahwa ia mempertahankan
keutuhan keluarga. Secara tradisional, pernikahan telah dilihat sebagai penting
untuk pelestarian moral dan peradaban. Prinsip tradisional atas mana lembaga
pernikahan didirikan adalah bahwa suami memiliki kewajiban untuk mendukung
seorang istri, dan bahwa istri memiliki tugas untuk melayani. Di masa lalu, ini
berarti bahwa suami berkewajiban untuk menyediakan rumah aman, untuk membayar
kebutuhan seperti makanan dan pakaian, dan tinggal di rumah. Kewajiban Seorang
istri secara tradisional mensyaratkan menjaga rumah, tinggal di rumah,
melakukan hubungan seksual dengan suaminya, dan membesarkan anak-anak pasangan
itu. Perubahan dalam masyarakat telah memodifikasi peran perkawinan ke tingkat
yang cukup sebagai perempuan menikah telah bergabung tenaga kerja dalam jumlah
besar, dan laki-laki lebih menikah telah menjadi lebih terlibat dalam
pengasuhan anak.[4]
Individu
yang berusaha untuk mengubah hak dan kewajiban perkawinan diijinkan untuk
melakukannya hanya dalam batas-batas hukum yang ditentukan. Perjanjian yg
berhubungan dgn masa sebelum perkawinan dimasukkan ke dalam sebelum menikah,
dalam kontemplasi dari hubungan pernikahan. Biasanya perjanjian ini melibatkan
hak milik dan istilah-istilah yang akan berlaku jika pernikahan pasangan
berakhir dalam perceraian. Perjanjian pemisahan yang masuk ke dalam pernikahan
sebelum dimulainya tindakan untuk perpisahan atau perceraian. Perjanjian ini
prihatin dengan Dukungan Anak, kunjungan, dan pemeliharaan sementara pasangan.
Hukum yang mengatur perjanjian ini umumnya berkaitan dengan melindungi setiap
pernikahan untuk alasan sosial, apakah pihak menginginkannya atau tidak. Para
ahli menyarankan bahwa pasangan harus mencoba untuk mengatasi kesulitan mereka
sendiri karena yang lebih efisien dan efektif daripada menempatkan masalah
mereka sebelum pengadilan.[5]
Di
Amerika Serikat, pernikahan diatur oleh negara. Pada suatu waktu, kebanyakan
negara diakui umum-UU Perkawinan, yang dibuat oleh kesepakatan para pihak untuk
menjadi suami dan istri. Dalam pengaturan tersebut, tidak ada surat nikah
diperlukan atau sebuah upacara pernikahan yang diperlukan. Para pihak secara
hukum menikah ketika mereka setuju untuk menikah dan kemudian hidup bersama,
publik memegang sendiri keluar sebagai suami dan istri. Kebijakan publik di
balik pengakuan umum-hukum perkawinan adalah untuk melindungi harapan para
pihak, jika mereka hidup sebagai suami dan istri dalam segala hal kecuali bahwa
mereka tidak pernah berpartisipasi dalam sebuah upacara resmi. Dengan
menjunjung tinggi pernikahan common-hukum sebagai sah, anak-anak yang disahkan,
pasangan hidup berhak untuk menerima tunjangan Jaminan Sosial, dan keluarga
berhak untuk mewarisi harta tanpa adanya wasiat. Alasan-alasan kebijakan publik
telah menurun secara signifikan. Kebanyakan negara telah menghapuskan
umum-hukum perkawinan, sebagian besar karena komplikasi hukum yang muncul
mengenai properti dan warisan.[6]
Mahkamah
Agung AS telah menyatakan bahwa negara-negara yang diizinkan untuk cukup
mengatur pernikahan dengan resep yang dapat menikah dan cara di mana pernikahan
dapat dibubarkan. Negara dapat memberikan suatu Pencabutan atau perceraian pada
istilah yang mereka menyimpulkan yang tepat, karena tidak ada yang memiliki hak
konstitusional untuk tetap menikah. Ada hak untuk menikah, namun, yang tidak
dapat disangkal santai. Negara-negara dilarang dari benar-benar melarang
pernikahan tanpa adanya alasan yang sah. Mahkamah Agung AS, misalnya,
diterapkan hukum di negara-negara selatan yang melarang perkawinan ras
campuran. Ketetapan antimiscegenation
yang dianggap inkonstitusional dalam kasus tahun 1967 Mencintai v Virginia, 388
US 1, 87 S. Ct. 1817, 18 L. Ed. 2d 1010, karena mereka melanggar Perlindungan Equal hukum.[7]
Di
sisi lain, Pengadilan memutuskan pada tahun 1878 bahwa pernikahan poligami yaitu,
memiliki lebih dari satu pasangan secara bersamaan adalah ilegal. Persyaratan
bahwa pernikahan melibatkan seorang pria dan seorang wanita yang dianggap
penting untuk peradaban Barat dan Amerika Serikat di Reynolds Amerika Serikat
v, 98 US 145, 25 L. Ed. 244. Hakim Ketua morrison r. waite, menulis untuk
pengadilan bulat, menyimpulkan bahwa sebuah negara (dalam kasus, Utah) mungkin
Poligami melarang untuk semua orang, terlepas dari apakah itu adalah kewajiban
agama, sebagai Mormon mengklaim itu. Semua negara membatasi orang untuk satu
suami atau istri yang hidup pada suatu waktu dan tidak akan mengeluarkan surat
nikah kepada siapapun yang memiliki pasangan hidup. Setelah seseorang menikah,
orang tersebut harus dibebaskan secara hukum dari pasangan nya dengan kematian,
perceraian, atau pembatalan sebelum ia secara hukum dapat menikah lagi. Orang
yang masuk ke dalam pernikahan kedua tanpa hukum melarutkan pernikahan pertama
mungkin akan dikenakan biaya dengan kejahatan bigami.
B.
Perkawinan
Menurut Adat
Indonesia
adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan suku
didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda pula.
Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai
produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system hukum yang berlaku di
Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu hukum adat, Islam dan Barat
(kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut dipandang representative
dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalan-persoalan yang sangat kompleks
untuk konteks sekarang dan yang akan datang.[8]
Dibawah
ini kami akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan
macam-macamnya, asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat
pertunangan serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat
seperti perceraian dan sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat
memberikan kontribusi pada pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum
perkawinan adat pada khususnya.[9]
Makna Pekawinan
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang
sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak
hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-masing. Dalam masyarakat adat perkawinan merupakan bagian peristiwa yang
sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada keterlibatan arwah nenek moyang
untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak jadi keluarga yang bahagia.
Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[10]
Hukum adat sendiri adalah hukum yang
menjadi kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara yang
satu dengan yang lain dan terdapat sanksi didalamnya biasanya berupa moral.
Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita adapun kapan mulai berlakunya
tidak dapat ditentukan secara pasti, tapi dapat diperkirakan hukum tersebut
berkembang sudah lama dan tertua umurnya sebelum tahun 1927 keadaanya masih
biasa saja dan apa adanya.
Dari uraian bahwa hukum perkawinan adat
adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara
perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak
tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi
didalamnya.[11]
Tujuan Perkawinan
Seperti apa yang disinggung dalam
pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan
tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan
mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan
berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang
melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka
pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.[12]
C.
Makna
Perkawinan Menurut Islam
Islam
adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan
tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah
tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi
sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari
mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.
Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah
Rasulullah SAW, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh
dengan pesona. Islam mengajarkannya.[13]
Dalam
pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan
yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan
masyarakat. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari
dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat
menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi.
Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi
ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian
antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah
dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan
mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah
SWT, Yadullahi fawqa aydihim.[14]
Begitu
sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga
seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan
para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga
menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena janganlah
pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai. Allah SWT
menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak
istrinya dengan firmannya:
"Bagaimana
kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama
lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian
perjanjian yang berat "Mitsaqon
gholizho" (Q.S An-Nisaa : 21)[15]
Rumah
tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi
Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang),
Allah berfirman:
“Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia
(juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.” (Ar-Ruum : 21).
Dalam
rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan
dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami
tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat
kerida’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang
tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan
selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya
hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan
percekcokan. Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan
dalam Al-Qur’an surat:[16]
“tetapi
masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian.”
(An-Nisaa: 34-35)
Marilah
kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah
tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara
dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya
ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya:
Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang
menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
[2]http://www.sekolahkehidupan.com/new/index.php?option=com_content&task=view&id=405&Itemid=50
[3]
Ibid
[4]
http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/marriage
[5]
Ibid.
[6]
est's Encyclopedia of American Law, edition 2. Copyright 2008 The Gale Group,
Inc. All rights reserved.
[7]
Ibid
[8]
http://kabunvillage.blogspot.com/2011/12/hukum-perkawinan-adat.html
[9]
Ibid
[10]
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Jakarta: Pradnya Paramita, 2000. Hlm 40
[11]
http://kabunvillage.blogspot.com/2011/12/hukum-perkawinan-adat.html
[12]
Ibid.
[13]
http://koswara.wordpress.com/2007/07/01/konsep-pernikahan-dalam-islam/
[14]
http://www.suaramedia.com/artikel/14-kumpulan-artikel/850-pengertian-pernikahan-dalam-islam.html
[15]
Ibid
[16]
Op.cit koswara.wordpress